Pengadilan Pajak kembali menegaskan posisi DJP terkait penentuan kewajaran transaksi pihak-pihak berelasi, khususnya dalam skema jasa intragrup, melalui Putusan Nomor PUT-009286.13/2023/PP/M.IIB Tahun 2025. Sengketa ini menyoroti bagaimana koreksi positif atas Beban Komisi Penjualan, Royalty Fee, dan Marketing Fee yang dilakukan DJP pada Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) berimplikasi langsung pada pengenaan PPh Pasal 26, dengan reklasifikasi selisih koreksi tersebut sebagai Dividen Terselubung (Constructive Dividend). Inti sengketa ini terletak pada kegagalan PT HWH, dalam meyakinkan Majelis Hakim bahwa tiga jenis jasa afiliasi yang dibayarkannya benar-benar eksis, dibutuhkan, dan memberikan manfaat ekonomis (benefit test), yang merupakan prasyarat mutlak dalam penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU).
Inti konflik dimulai ketika DJP menganggap bahwa seluruh pembayaran yang dilakukan PT HWH kepada afiliasi di luar negeri atas jasa Komisi Penjualan, Royalty Fee, dan Marketing Fee adalah tidak wajar dan tidak memiliki substansi yang memadai. Menurut DJP, jasa-jasa ini tidak diperlukan oleh PT HWH sebagai perusahaan operasional lokal dan dinilai sebagai mekanisme pengalihan laba (profit shifting) yang bertentangan dengan Pasal 9 ayat (1) UU PPh. DJP melakukan koreksi primer, yaitu menambah laba fiskal PT HWH sebesar total Rp. 627.470.572. PT HWH berargumen sebaliknya, menegaskan bahwa jasa-jasa tersebut krusial—misalnya, pemanfaatan merek dagang "D-BODHI" dan akses ke jaringan pemasaran global—dan nilai transaksinya telah ditetapkan secara wajar (arm's length) sesuai Laporan Penetapan Harga Transfer.
Dalam resolusinya, Majelis Hakim mengambil sikap yang bergantung pada hasil sengketa PPh Badan sebelumnya yang melibatkan PT HWH. Dengan merujuk pada Putusan PPh Badan yang telah menolak Banding PT HWH dan mempertahankan koreksi primer DJP, Majelis Hakim menyimpulkan bahwa koreksi sekunder pada PPh Pasal 26 harus dipertahankan. Selisih koreksi primer sebesar Rp. 627.470.572 tersebut, berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU PPh, secara otomatis diklasifikasikan sebagai Dividen Terselubung (Constructive Dividend) yang didistribusikan kepada pemegang saham di luar negeri. Konsekuensinya, PPh Pasal 26 dikenakan dengan tarif 15% sesuai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia dengan negara afiliasi.
Putusan ini memiliki dampak signifikan bagi Wajib Pajak multinasional di Indonesia. Implikasi utamanya adalah penegasan kembali bahwa kepatuhan harga transfer tidak hanya soal pricing, tetapi juga soal substansi dan manfaat. Jika DJP berhasil membuktikan bahwa jasa intragrup tidak eksis atau tidak memberikan manfaat, koreksi atas biaya tersebut akan menjadi beban yang tidak dapat dibiayakan. Lebih jauh, putusan ini memperkuat penerapan konsep secondary adjustment dalam praktik perpajakan Indonesia, di mana selisih koreksi PPh Badan secara otomatis direklasifikasi sebagai dividen yang terutang PPh Pasal 26/PPh Final. Bagi Wajib Pajak, pelajaran yang dapat diambil adalah pentingnya menyusun dokumentasi Transfer Pricing yang tidak hanya membandingkan harga, tetapi juga secara rinci menyajikan analisis fungsional (FAR Analysis) dan bukti benefit test yang kuat atas setiap pembayaran jasa intragrup.
Kesimpulannya, kekalahan PT HWH di sengketa PPh Pasal 26 ini menunjukkan urgensi bagi Wajib Pajak untuk memitigasi risiko Transfer Pricing secara komprehensif, dimulai dari tahap koreksi primer PPh Badan. Strategi mitigasi harus mencakup persiapan pembuktian yang superior dan pengantisipasian konsekuensi PPh Pasal 26/Dividen yang timbul sebagai akibat penyesuaian sekunder.
Analisa komprehensif dan putusan lengkap atas sengketa ini tersedia di sini